Tuesday, April 28, 2009

Dikasari, Istri Polisikan Suami

PONOROGO - Lagi, kekerasan lagi dalam rumah tangga. Kali ini, pasangan suami istri (pasutri) asal Balong, Ponorogo, terlibat bentrok fisik. Pihak istri lagi-lagi yang menjadi korban. Empat kali tangan sang suami mendarat telak ke bagian kepala istrinya. Pukulan itu beruntun mengena ke kepala, dagu, pelipis kiri dan bawah kelopak mata kiri.

Tatkala melapor ke Mapolres Ponorogo, kelopak mata Yat, 46, istri korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) itu, tampak lebam membiru. Yat juga masih mengenakan seragam PNS-nya. Wajah sendu bercampur raut ketakutan tergambar jelas. Namun, Yat sudah bulat hati memerkarakan Bad, suaminya yang terpaut 10 tahun lebih muda darinya.

Informasi yang berhasil dihimpun, aksi kekerasan itu terjadi Minggu (19/4) petang sekitar pukul 17.00. Yat dan Bad awalnya sebatas bersitegang lewat mulut. Bad menyoal kebiasaan istrinya yang kerap menggunjing ke orang lain tentang rahasia rumah tangga. Pertengkaran akhirnya juga merembet ke tabiat Yat yang sering kasar ke anak-anaknya. Pasutri Bad dan Yat ini sudah dikarunai empat anak.

Tak hanya bertengkar dengan kata-kata, tangan Bad akhirnya melayang empat kali. Yat yang kalah tenaga tak kuasa melawan hingga mampu menangis. Belakangan, dia memutuskan melapor ke Polres Ponorogo terkait tindakan semena-mena suaminya.

Kapolres Ponorogo AKBP Etik Margawati melalui Kasat Reskrim AKP Suhono membenarkan masuknya laporan itu. Hanya, Suhono membedakan KDRT di Balong dengan kasus serupa yang terjadi di Jalan Sekar Gayam, Kelurahan Tonatan, sepekan sebelumnya. Menilik ringannya luka yang diderita Yat, si suami tidak bisa ditahan. ''Juga termasuk delik aduan sehingga pengaduannya bisa dicabut sewaktu-waktu,'' terang Suhono, kemarin (27/4).

Sementara itu, Jem, 43, warga Jalan Sekar Gayam, yang tega menganiaya istrinya dengan kursi lebih dahulu masuk sel. Suami bengis ini ternyata tak sekali dua main pukul ke Wat. Setiap kali bertengkar, tendangan dan pukulan lelaki kekar itu kerap mendarat ke tubuh perempuan yang telah memberinya dua anak. Para suami yang ringan tangan selama ini terancam terapan UU 23/2004 tentang KDRT. (hw/sad)

Sumber : jawapos

Friday, April 17, 2009

SEPI SUNYI YANG MENERANGI


Ketika seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia ratusan tahun terakhir, dengan diam sebentar, menatap mata lalu menjawab, "dari gelap ke gelap". Dari ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan lain. Dari konflik satu ke konflik lain.

Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya, mengapa kemajuan iptek harus seperti ini? Maafkanlah keluguan. Andaikan keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika, mungkin sinyalemen "dari gelap ke gelap" akan tambah panjang. Angka dilawan angka. Logika mengundang serangan balik logika.

Karena demikian keadaannya, izinkan sekali-sekali bukan angka, bukan logika yang bicara, tetapi sepi sunyi. Tidak dalam posisi menyebut sepi benar, yang berbeda salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut manusia, gigi wujudnya keras karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan, tetapi merasakan. Keduanya punya tugas lain. Dengan spirit seperti inilah, sepi sunyi dalam tulisan ini mohon izin bicara.

Sejak dulu, pencinta sepi selalu tidak banyak. 0rang yang bertapa di kesunyian selalu lebih sedikit dibanding mereka yang mencari di keramaian. Keduanya bertumbuh. 0rang-orang keramaian menyukai bertumbuh ke luar (dengan ukuran kekaguman pujian orang), sedangkan pencinta kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam. Kekaguman dan pujian orang dihindari karena penuh godaan ego.

Melihat bulan dengan lampu

Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah pertapa suci Ramana Maharshi. Sampai umur 16 tahun tidak ada tanda ia akan jadi pertapa. Begitu berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya panas. Ini membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadar panasnya menghilang, ia menikmati kesunyian di tempat ini. Bahkan selama puluhan tahun menghabiskan hidup yang sepenuhnya diam.

Saat mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan orang secara mengagumkan hanya dengan segelintir kata. Dari situ didirikan ashram oleh banyak pengikutnya di sekitar tempat ia bertapa. Tiap kali ditanya siapa gurunya, ia menggeleng sambil bergumam, "The ultimate consciousness is the only teacher" (Kesadaran yang mahautama itulah gurunya).

Serupa dengan ini, di sejumlah perenungan dengan judul agama yang berbeda-beda, banyak murid diminta diam. Awalnya percakapan ke luar menghilang, diganti percakapan ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam pun menghilang. Dan yang tersisa hanya satu, yakni kesadaran. 0rang-orang yang sudah disinari cahaya kesadaran, akan bergumam, untuk melihat bulan tidak memerlukan lampu!

Kata-kata, logika, angka mirip lampu luar. Manusia membutuhkan saat gelap. Namun, dalam terang cahaya kesadaran, manusia tidak memerlukan lampu luar. Salah satu founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra) menulis Kakawin Dharma Sunya. Ia bertutur, jika batin yang tenang-seimbang adalah sumber keindahan. Bila sumber keindahan sudah di dalam, masihkah manusia memerlukan lampu penerang dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru, "When you still have some one who can make you happy or sad, you are not a master, you are a slave!" (Jika sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari luar, itu tandanya seseorang belum menjadi master, masih jadi budak).

Apresiasi akan sepi memang bukan monopoli Bali. Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah menulis bahwa puncak perjalanan menemukan perkataan yang benar adalah hening. Eckhart Tolle (Stillness Speaks) juga serupa, "wisdom comes with the ability to be still. Just look and just listen... let stillness direct your words and actions" (Kearifan datang dari keheningan. Lihat dan dengar saja... biar keheningan yang menjadi pembimbing). Thomas Merton (Thoughts in Solitude) menambahkan, "My knowledge of myself in silence... opens out into the silence... of God" (Pengetahuan diri dalam keheningan membuka rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan).

J Krishnamurti (The Light in Oneself) menyarankan, meditation is absolute silence of the mind (meditasi adalah keadaan batin yang sepenuhnya hening). Dainin Katagiri (Returning to Silence) menulis, Shakyamuni is some one who practice tranquil silence (Siapa saja yang mempraktikkan kesempurnaan keheningan, ia menjadi Buddha). Murid-murid Zen yang perjalanannya suka menekuni latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu syairnya (The Rumi Collections): when you know your own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who cannot be defined (Saat Anda dipagari kata-kata, cepat-cepatlah menjauh. Ia menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan).

Dengan cerita ini, terlihat banyak manusia yang terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat tradisi. Dari Sufi, Nasrani, Buddha, sampai Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola pertumbuhan serupa. Logika dan kata-kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal manusia membutuhkan. Namun, begitu dikupas dan dibuka, kelapa dimakan, airnya diminum, kulit dan batoknya dibuang.

Mikhail Naimy (The Book of Mirdad) lebih terang lagi. Kata, logika serupa tongkat, berguna bagi mereka yang kakinya bermasalah. Bagi jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanya beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa terbang, tongkat adalah beban berat.
Oleh : Gede Prama

Monday, April 13, 2009

Kegundahan Kita Akan Masa Depan

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Ketika kecil dulu, kita ditanya; `kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?' Dan setelah kita besar, kita menanyakan hal yang sama kepada para anak kecil. Namun sebenarnya, orang dewasa seperti kita ini pun masih mengajukan pertanyaan itu kepada diri sendiri. Hanya saja, dia sudah berubah bunyi menjadi; `besok saya akan menjadi apa?'. Mungkin kita merasa sudah memiliki jawaban itu. Mungkin juga tidak. Yang jelas, orang-orang yang rajin merenung tidak pernah berhenti menanyai diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan seperti itu. Apakah Anda juga mengalami hal itu?

Seyogyanya, memang pertanyaan-pertanya an itu terus hidup dalam diri kita untuk memastikan bahwa proses pendewasaan diri ini tidak berhenti. Mengapa mesti begitu? Karena, kita percaya bahwa ciri hidup adalah terus berjalannya proses pendewasaan diri. Sehingga, kita tidak terburu-buru mengklaim diri sebagai manusia yang sudah mencapai kedewasaan yang sempurna.

Akan tetapi, kadang-kadang pertanyaan itu lebih beraroma kegundahan daripada berirama perjalanan menuju kedewasaan. Kita sering merasa gundah dengan masa depan. Lantas bertanya-tanya; akan menjadi seperti apakah masa depan kita gerangan? Jika kita seorang karyawan, kita bertanya; "Apa yang akan terjadi setelah saya memasuki masa pensiun nanti?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi;"Apakah saya bisa lolos dari gelombang PHK ini?"

Para pengusaha dan pekerja mandiri pun tidak kurang gundah. Dan mereka bertanya;"Apakah masih ada peluang bagi usaha saya sepuluh tahun lagi?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi; "Apakah bulan depan saya masih akan mendapatkan order lagi?".

Pendek kata, semakin jauh kita memandang kedepan, semakin samar gambaran yang bisa kita temukan. Bahkan, dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini; masa depan yang dekat pun menjadi tidak terlampau jelas terlihat.

Sore itu, layar pesawat televisi saya dirubungi begitu banyak semut. Sehingga, gambarnya menjadi tidak kelihatan. Setelah channel dan kabelnya diotak-atik pun semut-semut itu tidak hendak beranjak pergi. Namun, ketika saya melihat keatas genteng, ternyata posisi antenna TV itu sudah bergeser; hingga arahnya berlawanan dengan posisi selama ini. Ajaibnya, ketika arah antenna itu diperbaiki; seketika itu juga para semut elektronik itu kabur menyisakan tampilan layar kaca yang jelas, jernih, lagi bening.

Saya tercenung sejenak dan bertanya dalam hati; mungkinkah masa depan manusia juga memiliki sifat sedemikian? Maksud saya, mungkinkah kita bisa melihat masa depan dengan lebih jernih seperti gambar pada pesawat televisi itu kini? Antenna itu memberi saya inspirasi bahwa masa depan kita juga bisa menjadi lebih cerah dan lebih indah seandainya kita bisa memposisikan antenna diri kita kearah yang tepat. Hari itu, hati saya kembali lega. Karena ternyata; kesuraman gambaran masa depan ini disebabkan karena kita tidak mengarahkan antenna jiwa kita kearah yang tepat. Seandainya kita mengarahkan antenna itu kearah yang seharusnya; mungkin kita bisa terhindar dari gambar samar itu.

Pertanyaannya adalah; perangkat seperti apakah yang bisa kita gunakan untuk menjadi antenna bagi diri kita? Otak dengan daya pikir yang kita milikikah? Mungkin. Sebab, selama ini sudah terbukti otak mampu menyelamatkan kita dari berbagai krisis yang kita hadapi. Otak juga mempunyai kemampuan analisis yang begitu tinggi sehingga kita bisa memprediksi masa depan. Membuat rencana-rencana strategis jangka panjang. Dan, mengkalkulasikan resiko-resiko yang mungkin menghadang selama dalam perjalanan.

Tapi hey, ada banyak bukti sifat destruktif ketika kita terlampau banyak mengandalkan otak. Hitung-hitungan matematis yang dihasilkannya sering melupakan aspek kemanusiaan dan keadilan. Bahkan, tak jarang otak menasihatkan untuk melakukan sesuatu `for whatever it takes…..'. Oleh karena itu, otak tidak terlampau peduli jika tindakan yang kita lakukan merugikan orang lain. Atau melanggar aturan. Atau mengesampingkan nilai-nilai kesusilaan. Kalau begitu, mungkin bukan otak yang bisa menjadi antenna kita.

Lantas apa? Adakah `sesuatu' yang bisa menyeimbangkan kinerja otak dalam diri kita? Mungkin kita ingat bahwa ketika otak mengatakan sesuatu, hati kita berkata; "tunggu dulu, itu bukan tindakan yang baik…." Jika demikian, mungkinkah hati yang bisa menjadi antenna diri kita itu? Yang jelas, kita mendengar bisikan-bisikan suci melalui telinga batin didalam hati. Bukan dengan telinga lahir kita. Sebab, sekalipun semua orang disekeliling kita menasihatkan kebenaran, jika telingan batin kita tertutupi; kita hanya menganggap seruan akan bebajikan sekedar angin lalu. Yang masuk dari telinga kanan, dan keluar lagi melalui telinga kiri. Sebaliknya, sekalipun disekeliling kita berseliweran panggilan-panggilan untuk melakukan beragam kebathilan, namun ketika telinga batin kita difungsikan; kita masih bisa menemukan bisik suci yang menjaga kita untuk tidak tergoda.

Jadi, mungkin memang hatilah yang bisa digunakan untuk menjadi antenna diri itu ya? Sebab, ketika hati kita bisa menangkap gelombang penghiburan yang Tuhan kirimkan, sekujur tubuh kita kemudian bisa terbebas dari segala kegundahan akan masa depan. Lalu perasaan batin kita menjadi tenang. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh Sang Utusan; "Wahai para pemilik jiwa yang tenang. Pergilah engkau keranah kasih sayang Tuhan. Maka jadilah engkau hamba-hamba Tuhan. Dan masuklah engkau kedalam tempat terbaik yang telah Tuhan janjikan……" Semoga.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/
Business Administration & People Development
Business Talk Setiap Jumat: 06.30-07.30 di 103.4 FM Day Radio

Catatan Kaki:
Tuhan tidak mungkin mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan bersungguh-sungguh. Sehingga wajar, jika setelah semua upaya terbaik kita ditunaikan; kita menyerahkan segala urusan kepada Tuhan.


Jika Anda membutuhkan free artikel untuk MADING di Kantor, silakan hubungi kami japri dengan subjek: "Artikel Mading" ke dkadarusman@ yahoo.com