Monday, April 13, 2009

Kegundahan Kita Akan Masa Depan

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Ketika kecil dulu, kita ditanya; `kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?' Dan setelah kita besar, kita menanyakan hal yang sama kepada para anak kecil. Namun sebenarnya, orang dewasa seperti kita ini pun masih mengajukan pertanyaan itu kepada diri sendiri. Hanya saja, dia sudah berubah bunyi menjadi; `besok saya akan menjadi apa?'. Mungkin kita merasa sudah memiliki jawaban itu. Mungkin juga tidak. Yang jelas, orang-orang yang rajin merenung tidak pernah berhenti menanyai diri sendiri dengan sejumlah pertanyaan seperti itu. Apakah Anda juga mengalami hal itu?

Seyogyanya, memang pertanyaan-pertanya an itu terus hidup dalam diri kita untuk memastikan bahwa proses pendewasaan diri ini tidak berhenti. Mengapa mesti begitu? Karena, kita percaya bahwa ciri hidup adalah terus berjalannya proses pendewasaan diri. Sehingga, kita tidak terburu-buru mengklaim diri sebagai manusia yang sudah mencapai kedewasaan yang sempurna.

Akan tetapi, kadang-kadang pertanyaan itu lebih beraroma kegundahan daripada berirama perjalanan menuju kedewasaan. Kita sering merasa gundah dengan masa depan. Lantas bertanya-tanya; akan menjadi seperti apakah masa depan kita gerangan? Jika kita seorang karyawan, kita bertanya; "Apa yang akan terjadi setelah saya memasuki masa pensiun nanti?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi;"Apakah saya bisa lolos dari gelombang PHK ini?"

Para pengusaha dan pekerja mandiri pun tidak kurang gundah. Dan mereka bertanya;"Apakah masih ada peluang bagi usaha saya sepuluh tahun lagi?" Bahkan tak jarang pertanyaan itu bergegas menjadi; "Apakah bulan depan saya masih akan mendapatkan order lagi?".

Pendek kata, semakin jauh kita memandang kedepan, semakin samar gambaran yang bisa kita temukan. Bahkan, dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini; masa depan yang dekat pun menjadi tidak terlampau jelas terlihat.

Sore itu, layar pesawat televisi saya dirubungi begitu banyak semut. Sehingga, gambarnya menjadi tidak kelihatan. Setelah channel dan kabelnya diotak-atik pun semut-semut itu tidak hendak beranjak pergi. Namun, ketika saya melihat keatas genteng, ternyata posisi antenna TV itu sudah bergeser; hingga arahnya berlawanan dengan posisi selama ini. Ajaibnya, ketika arah antenna itu diperbaiki; seketika itu juga para semut elektronik itu kabur menyisakan tampilan layar kaca yang jelas, jernih, lagi bening.

Saya tercenung sejenak dan bertanya dalam hati; mungkinkah masa depan manusia juga memiliki sifat sedemikian? Maksud saya, mungkinkah kita bisa melihat masa depan dengan lebih jernih seperti gambar pada pesawat televisi itu kini? Antenna itu memberi saya inspirasi bahwa masa depan kita juga bisa menjadi lebih cerah dan lebih indah seandainya kita bisa memposisikan antenna diri kita kearah yang tepat. Hari itu, hati saya kembali lega. Karena ternyata; kesuraman gambaran masa depan ini disebabkan karena kita tidak mengarahkan antenna jiwa kita kearah yang tepat. Seandainya kita mengarahkan antenna itu kearah yang seharusnya; mungkin kita bisa terhindar dari gambar samar itu.

Pertanyaannya adalah; perangkat seperti apakah yang bisa kita gunakan untuk menjadi antenna bagi diri kita? Otak dengan daya pikir yang kita milikikah? Mungkin. Sebab, selama ini sudah terbukti otak mampu menyelamatkan kita dari berbagai krisis yang kita hadapi. Otak juga mempunyai kemampuan analisis yang begitu tinggi sehingga kita bisa memprediksi masa depan. Membuat rencana-rencana strategis jangka panjang. Dan, mengkalkulasikan resiko-resiko yang mungkin menghadang selama dalam perjalanan.

Tapi hey, ada banyak bukti sifat destruktif ketika kita terlampau banyak mengandalkan otak. Hitung-hitungan matematis yang dihasilkannya sering melupakan aspek kemanusiaan dan keadilan. Bahkan, tak jarang otak menasihatkan untuk melakukan sesuatu `for whatever it takes…..'. Oleh karena itu, otak tidak terlampau peduli jika tindakan yang kita lakukan merugikan orang lain. Atau melanggar aturan. Atau mengesampingkan nilai-nilai kesusilaan. Kalau begitu, mungkin bukan otak yang bisa menjadi antenna kita.

Lantas apa? Adakah `sesuatu' yang bisa menyeimbangkan kinerja otak dalam diri kita? Mungkin kita ingat bahwa ketika otak mengatakan sesuatu, hati kita berkata; "tunggu dulu, itu bukan tindakan yang baik…." Jika demikian, mungkinkah hati yang bisa menjadi antenna diri kita itu? Yang jelas, kita mendengar bisikan-bisikan suci melalui telinga batin didalam hati. Bukan dengan telinga lahir kita. Sebab, sekalipun semua orang disekeliling kita menasihatkan kebenaran, jika telingan batin kita tertutupi; kita hanya menganggap seruan akan bebajikan sekedar angin lalu. Yang masuk dari telinga kanan, dan keluar lagi melalui telinga kiri. Sebaliknya, sekalipun disekeliling kita berseliweran panggilan-panggilan untuk melakukan beragam kebathilan, namun ketika telinga batin kita difungsikan; kita masih bisa menemukan bisik suci yang menjaga kita untuk tidak tergoda.

Jadi, mungkin memang hatilah yang bisa digunakan untuk menjadi antenna diri itu ya? Sebab, ketika hati kita bisa menangkap gelombang penghiburan yang Tuhan kirimkan, sekujur tubuh kita kemudian bisa terbebas dari segala kegundahan akan masa depan. Lalu perasaan batin kita menjadi tenang. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh Sang Utusan; "Wahai para pemilik jiwa yang tenang. Pergilah engkau keranah kasih sayang Tuhan. Maka jadilah engkau hamba-hamba Tuhan. Dan masuklah engkau kedalam tempat terbaik yang telah Tuhan janjikan……" Semoga.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/
Business Administration & People Development
Business Talk Setiap Jumat: 06.30-07.30 di 103.4 FM Day Radio

Catatan Kaki:
Tuhan tidak mungkin mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan bersungguh-sungguh. Sehingga wajar, jika setelah semua upaya terbaik kita ditunaikan; kita menyerahkan segala urusan kepada Tuhan.


Jika Anda membutuhkan free artikel untuk MADING di Kantor, silakan hubungi kami japri dengan subjek: "Artikel Mading" ke dkadarusman@ yahoo.com

No comments: